Kamis, 31 Desember 2009

TAHUN BARU dalam pandangan Syariat Islam

Moment pergantian tahun begitu sangat dinantikan oleh setiap orang.
Tak jarang diantara mereka yang menyambutnya dengan berpesta ria, meniup
terompet didetik-detik terakhir pergantian tahun dan lain-lain. Seakan moment
tahun baru merupakan moment istimewa yang tak boleh terlewatkan.
Lalu, bagaimana pandangan menurut kaca mata syar’I dalam hal ini ?
Benarkah tahun baru harus kita sambut dengan sepecial? Semisal saling
mengucapkan ucapan selamat, lewat lisan atau tulisan yang kita tulis di kartu
ucapan tahun baru. Sedemikian istimewakah makna tahun baru bagi umat manusia?
Coba perhatikan pernyataan Al
Imam Ibnu Tammiyah radhiaallahu anhu. “ Adapun mengucapkan selamat terhadap
syiar-syiar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka hukumnya
haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap
hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan ‘ semoga hari
besar ini diberkahi atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut…”
Sedang Umar bin Khatab ra berkata, terkait dengan momentum tahun baru
Masehi atau hari-hari besar lain yang merupakan hari-hari besar orang-orang
Yahudi dan Nasrani. “ Janganlah kalian mengunjungi kaum Musyrikin di
gereja-gereja ( rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena
sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka” (HR. Al Baihaqi, no:18640)
“ Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka” (
HR.Ibid. no:18641)
Dari kedua hadist tersebut, jelaslah sudah kalau mengucapkan selamat atau
ikut serta dalam merayakan hari-hari besar kaum musyrikin ( Tahun baru, Natal,
Valentine,dll) hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam. Karena moment tahun
baru atau moment-moment lainnya merupakan pencampuradukan antara Al Haq dan
kebathilan. Yang lebih banyak nilai mudharatnya, ketimbang sisi positifnya.
Sebagai umat Islam tentunya kita harus konsekwen terhadap
keyakinan/akidah yang kita anut, karena sesungguhnya merayakan moment tahun
baru itu bukanlah budaya Islam, jadi janganlah sekali-kali terpengaruh dan
mengadopsinya menjadi bagian dari budaya kaum muslimin.
“ Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu
kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” ( QS. Al-Baqarah:109)
Coba perhatikan ayat tersebut ! Sesungguhnya, moment tahun baru itu salah
satu tipu muslihat orang-orang musyirikin untuk menyesatkan kaum muslimin dari
jalan kebenaran, jalan yang penuh dengan cahaya rahmat dan karunia-Nya. Karena
sejatinya, kaum musyirikin itu mengetahui kalau agama Islam adalah agama yang
rahmatan lil’alamin, sehingga hati mereka menjadi dengki dan berusaha
mengembalikan keyakinan kaum muslimin pada kekafiran agar jauh dari cahaya
Allah.
“ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang kafir
itu, niscaya mereka akan mengembalikanmu kebelakang ( Kepada kekafiran), lalu
jadilah kamu orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imron:149)
Sahabatku, apakah kita mau menjadi orang-orang yang merugi? Tentunya, tak ada
seorang pun diantara kita yang ingin menjadi orang yang merugi dan amal
ibadahnya tertolak oleh Allah Swt. Kalau demikian, mari bersama-sama bersiaga
dalam menghalau datangnya budaya kaum musyirikin yang mereka proklamirkan lewat
liberalisme, modernitas dan premisivisme budaya.
Pada momentum tahun baru hendaknya kita isi dengan dzikir dan takhmid kepada
Allah, karena ini jauh lebih baik ketimbang merayakannya dengan berpesta pora.
Melakukan taffakur panjang, sangat dianjurkan sebagai bahan renungan dan cermin
terhadap eksistensi kita dalam menjalankan dan menegakan syariat Islam selama
satu tahun. Mencoba mengingat balik amalan ibadah yang telah kita lakukan
selama ini, sudah baikkah kuantitas ibadah kita ? Berapa umur kita sekarang?
Masihkah kita bisa menikmati kehidupan untuk satu tahun yang akan datang?
Karena setiap waktu bergulir, maka jatah hidup kita pun berkurang.
Seperti perkataan Iman Soyfan Tsauri “ Sesungguhnya, aku sangat
menginginkan satu tahun saja dari seluruh usiaku, seperti Ibnu Mubarak. Tapi
aku tak mampu melakukannya, bahkan dalam tiga hari sekalipun.” (Nuzhatul
Fudhala,2/655)
Hidup didunia hanya selayang pandang, ia begitu singkat…sesingkat kilat.
Sehingga kita harus memanfaatkan waktu yang ada dengan sefisien mungkin untuk
beribadah, karena itulah hakikat hidup manusia didunia. Untuk melakukan amal
sholeh dan beribadah kepada Allah Swt.
Bahkan Rasulullah pun bersabda terkait dengan umur manusia. “ Umur umatku
antara 60 sampai 70 tahun” (HR. Turmudzi).
Jadi, mari kita bersama-sama memanfaatkan waktu yang tersisa dan
meningkatkan kuantitas ibadah kita kepada Allah Swt. Menjadikan momentum tahun
baru untuk mengingat mati. Bayangkan…renungkan! Bekal apa yang sudah kita
persiapkan untuk kehidupan diakhirat nanti. Apakah kita akan dimasukan kedalam
golongan yang menempati Surga-Nya, sudah cukupkah bekal kita ?
Sahabatku, selagi masih ada waktu mari kita berbenah diri sebelum semuanya
menjadi terlambat. (Kiku)


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

Hukum merayakan tahun baru masehi

Hukum merayakan tahun baru masehi
Written by WIDI PUJI HARTADI on December 24, 2009 – 11:41 am

Nah, sebelum membahas lebih lanjut, saya sengaja menempatkan subjudul ini lebih dulu ketimbang tema lain. Iya, ini supaya kita sebagai muslim bisa berhati-hati sebelum melakukan perbuatan. Sebab, berdasarkan kaidah fiqih dalam ajaran agama kita, bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara (sayriat Islam). Itu sebabnya, sebelum melakukan suatu perbuatan kita harus tahu apakah perbuatan tersebut dihukumi sebagai perbuatan yang dibolehkan, diwajibkan, disunnahkan, diharamkan atau dihukumi sebagai makruh.

Lalu apa hukumnya merayakan tahun baru masehi bagi seorang muslim? Jawaban singkatnya adalah SSTBAH alias sangat sangat tidak boleh alias haram. Titik.

Duh, kok saklek banget sih? Oke, kalo kamu pengen tahu sebabnya, gaulislam mo ngasih bocorannya nih. Bahwa merayakan tahun baru masehi adalah bukan tradisi dari ajaran Islam. Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri larut dalam gemerlap pesta kembang api atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat tetap aja nggak lantas menjadikan tuh perayaan jadi boleh atau halal. Sebab, ukurannya bukanlah banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi patokannya kepada syariat.Oke?

So, sekadar tahu aja nih, tahun baru masehi itu sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani, lho. Masehi kan nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya gini nih, menurut catatan di Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.

Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang kemudian ?memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi)

Nah, Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.

Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua-ini bukan munafik maksudnya, tapi merupakan Dewa pintu dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan dan belakan, depan bisa belakang bisa, kali ye?). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalo ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year, gitu lho.

Nah, jadi sangat jelas bahwa apa yang ada saat ini, merayakan tahun baru masehi adalah bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin. Tapi sangat erat dengan keyakinan dan ibadah kaum Nasrani. Jangankan yang udah jelas perayaan keagamaan seperti Natal, yang masih bagian dari ritual mereka seperti tahun baru masehi dan ada hubungannya serta dianggap suci aja udah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Why?

Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firman Allah Swt.: ”

??????????? ??? ??????????? ????????

“Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu” (QS al-Furqaan [25]: 72)

Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Ulama-ulama Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata “az-Zuura” (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.

Itu artinya, kalo sampe seorang muslim merayakan tahun baru masehi berarti melakukan persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, kita udah punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik ra, dia berkata, saat Rasulullah saw. datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini?" Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah". Lantas beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha dan Iedul Fithri" (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210)

Terus, boleh nggak sih kita merayakan tahun baru karena niatnya bukan menghormati kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nasrani? Ya, sekadar senang-senang aja gitu, sekadar refreshing deh. Hmm.. ada baiknya kamu menyimak ucapan Umar Ibn Khaththab: "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640) Umar ra. berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" (ibid, No. 18641) Dalam keterangan lain, seperti dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" ('Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512)

Nah, berkaitan dengan larangan menyerupai suatu kaum (baik ibadahnya, adat-istiadanya, juga gaya hidupnya), Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya jilid II, hlm. 50)

At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya.

Tasyabbuh yang dilarang dalam al-Quran dan as-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka. Hmm.. catet ye!

Tahun baru, dosa baru?

Waduh, masa’ sih kita memulai bilangan tahun dengan dosa baru? Apalagi untuk dosa lama aja kita belum pernah melakukan tobatnya, tapi udah bikin dosa baru. Keterlaluan abis deh kalo sampe punya cita-cita seperti itu. Tapi kenyataannya, ternyata banyak di antara kita yang malah merayakan tahun baru masehi dengan melakukan aktivitas maksiat. Kasihan deh!

Boys and gals, sebenarnya dalam pandangan Islam, untuk mengevaluasi diri selama ini udah ada tuntunannya dalam al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt. (yang artinya): “Demi Waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS al-Ashr [103] 1-3)

Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan baik amalannya, dan sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang diberi panjang umur dan jelek amalannya.” (HR Ahmad)

Orang yang pasti beruntung adalah orang yang mencari kebenaran, orang yang mengamalkan kebenaran, orang yang mendakwahkan kebenaran dan orang yang sabar dalam menegakan kebenaran. Mengatur waktu dengan baik agar tidak sia-sia adalah dengan mengetahui dan memetakan, mana yang wajib, sunah, haram, mana yang makruh, en mana yang mubah. Intinya kudu taat sama syariat Islam.

Itu artinya perubahan waktu ini harusnya kita jadikan momentum (saat yang tepat) untuk mengevaluasi diri. Jangan malah hura-hura bergelimang kesenangan di malam tahun baru masehi. Sudahlah merayakannya haram, eh, caranya maksiat pula. Halah, apa itu nggak dobel-dobel dosanya? Naudzubillahi min dzalik!

Sobat muda muslim, nggak baik hura-hura, lho. Hindari deh ya. Jangan sampe lupa diri. Itu sebabnya, Rasulullah saw. mewanti-wanti tentang dua hal yang bikin manusia tuh lupa diri. Sabda beliau saw.: “Ada dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari)

Nggak baik kalo kita nyesel seumur-umur akibat kita menzalimi diri sendiri. Sebab, kita nggak bakalan diberi kesempatan ulang untuk berbuat baik atau bertobat, bila kita udah meninggalkan dunia ini. Firman Allah Swt.:

???????????? ??? ???????? ????????? ???????? ?????????????? ????? ???? ???????????????

“Maka pada hari itu tidak bermanfaat (lagi) bagi orang-orang yang zalim permintaan uzur mereka, dan tidak pula mereka diberi kesempatan bertaubat lagi.” (QS ar-R?m [30]: 57)

Jadi, nggak usah deh kita ikutan heboh merayakan tahun baru masehi. Kita evaluasi diri, dan itu dilakukan setiap hari biar lebih seru. Jangan nunggu pergantian tahun baru masehi, entar tobat belum eh udah mati duluan. Rugi berat! Yuk kita tingkatin terus amal baik kita, jangan cuma menumpuk dosa. Hari demi hari harus lebih baik. Yup, mari mulai sekarang juga untuk evaluasi diri. Are you ready?

SUMBER:

[solihin: sholihin@gmx.net]

Selasa, 29 Desember 2009

TAHLIL DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6

[

Senin, 28 Desember 2009

Hukum Qunut Subuh

Pertanyaan :

Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid’ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?

Jawab :

Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ

“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.

Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.

Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama

Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.

Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.

Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.

Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama

Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.

Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-’Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.

Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik.

Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah : ” Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”

Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.

Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).

Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :

Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ

“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)” . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.

emudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :

Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :

قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ

“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.

Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :

Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).

Kedua : Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.

Catatan :

Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ

“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.

Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.

Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ

“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.

Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’ in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.

Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.

Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ

“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.

Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.

Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibba n : “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.

Kesimpulan pendapat pertama:

Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.

Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.

1) Doa

2) Khusyu’

3) Ibadah

4) Taat

5) Menjalankan ketaatan.

6) Penetapan ibadah kepada Allah

7) Diam

8) Shalat

9) Berdiri

10) Lamanya berdiri

11) Terus menerus dalam ketaatan

Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.

Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Dalil Pendapat Kedua

Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)

Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :

Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.

Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.

Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.

Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .

Dalil Pendapat Ketiga

Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i

قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.

“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.

Dua : Hadits Ibnu ‘Umar

عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.

” Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.

Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.

Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.

Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :

1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.

2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.

Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma’ad.

Kesimpulan

Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid’ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.

Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma’any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi’ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u’ Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma’ad 1/271-285.

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

http://darussalaf.or.id/stories.php?id=436

www.an-nashihah.com

Rabu, 23 Desember 2009

mulia dengan hijab, sengsara dengan tabarruj

Bismillahirrahmanirrahim

Saudari Muslimah! Musuh-musuh Islam tidak hentin-hentinya berusaha untuk menjauhkan wanita muslimah dari agama Islam yang haq dan lurus ini. Di setiap tempat dan kesempatan mereka selalu melontarkan tuduhan-tuduhan keji yang ditujukan kepada wanita-wanita mu’minah yang suci. Mereka mengatakan bahwa “Islam adalah penjara bagi wanita”, karena wanita dalam Islam wajib di rumah, tidak diizinkan keluar kecuali ada keperluan. Atau ungkapan lain seperti “Menetapnya wanita di rumah, melemahkan ekonomi negara”, “Poligami adalah perbuatan hewan”, “Wanita-wanita muslimah itu penyakitan, kulitnya penuh dengan kadas dan panu, oleh karena itu mereka memakai hijab untuk menutup aibnya.” Itulah ungakapan yang dilontarkan musuh-musuh Islam yang sering kita dengar atau masih banyak ungakapan yang senada dengannya yang bertujuan untuk mencela dan melemahkan semangat wanita muslimah dalam mentaati syari’at Allah.

Akan tetapi saudari Muslimah..!

Jangan engkau ikuti langkah-langkah syetan, jangan dengarkan kata-kata mereka, sebab mereka adalah penganjur yang berdiri di tepi neraka jahannam serta ingin mengajakmu masuk ke dalamnya.

Allah berfirman:

“Mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta” (QS. Al-Kahfi:5)

Ukhti Muslimah! Tahukah Anda apa yang mereka kehendaki? Mereka hanya menghendaki satu perkara. Menghancurkan agama Islam dan merusak generasi dengan menyebarkan kekejian di tengah masyarakat beriman. Mereka menghendaki agar wanita-wanita muslimah yang suci keluar dari rumahnya, dari bentengnya. Mereka menghendaki agar kamu menjadi barang dagangan yang murah, dilihat bebas oleh mata-mata pengumbar nafsu. Mereka menipumu agar kamu keluar dari surga sebagaimana iblis mengeluarkan Bapak kita Adam darinya.

Saudari Muslimah! Penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya, pati terdapat di dalamnya kebahagiaan sejati. Allah ta’ala berfirman: “Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan wanita-wanita kaum mu’min agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya, mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab:59).

Saudari Muslimah!

Pernahkah kamu menduga bahwa mereka para wanita muslimah sadar mengapa mereka berjilbab? Sesungguhnya kenyataan menunjukkan bahwa mereka pada umumnya memandang jilbab hanya sebatas adat istiadat uang mereka warisi dari orang tua mereka dan sebagai bakti kepada orang tua mereka yang menyuruhnya. Pernahkah ia bertanya mengapa ia memakai jilbab? Dan siapa yang memerintahkannya?

Atau mungkin ia tahu bahwa Allah lah yang memerintahkannya! Akan tetapi apakah jilbab yang ia gunakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Rabb yang menyuruhnya? Saudari Muslimah renungilah kalimat demi kalimat yang kami tuliskan di atas lembaran yang putih ini, semoga dapat menjadi pelajaran dan pemberi semangat bagi saudari dalam meniti syariat ilahi yang suci.

BEBERAPA KEUTAMAAN HIJAB

Hijab Adalah Ketaatan Kepada Allah dan Rasul-Nya

Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak pula bagi perempuan mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36). Dan salah satu perintah Allah kepadamu saudari muslimah adalah berhijab.

Hijab Adalah Iffah (Menahan Diri dari Maksiat)

Allah ta’ala berfirman, “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS. Al-Ahzab:59)

Hijab Itu Iman

Allah ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman, “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman” (QS. An-Nur:31) Allah juga berfirman, “dan istri-istri orang beriman” (QS. Al-Ahzab:59).

Dan ketika wanita Bani Tamim menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan pakaian tipis beliau berkata, “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.“

Hijab Itu Ghirah (Perasaan Cemburu)

Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan pada masa jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang non Arab di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.“

KEJELEKAN TABARRUJ (BERHIAS DIRI DAN MENAMPAKKAN AURAT)

Tabarruj Adalah Maksiat Kepada Allah dan Rasul

Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya, maka ia hany akan mencelakakan dirinya sendiri dan tidak akan mencelakakan Allah sedikit pun.

Rasulullah bersabda, “Semua umatku akan masuk surga kecuali yang menolak” mereka (yakni sahabat) bertanya, “Ya Rasulullah! Siapakah orang yang menolak itu?” Beliau menjawab, “Siapa yang taat kepadaku akan masuk surga dan siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah menolak.” (HR. Bukhari)

Tabarruj Menyebabkan Laknat dan Jauh dari Rahmat Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada pada akhir umatku nanti wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, kepala mereka bagaikan punuk unta, laknatlah mereka karena mereka adalah wanita-wanita yang pantas dilaknat.” (HR. Thabrani)

Tabarruj Adalah Sifat Penghuni Neraka

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa ada dua penghuni neraka yang belum pernah beliau lihat, di antaranya adalah wanita yang berpakaian tapi telanjang (mereka memakai pakaian yang tipis, sehingga kelihatan lekuk tubuhnya atau pakaian mini, ketat dan semisalnya).

Tabarruj Adalah Kemunafikan

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik wanita kalian adalah yang memiliki kasih sayang, subur, suka menghibur dan siap melayani, dan bila mereka bertaqwa kepada Allah. Dan sejelek-jelek wanita kalian adalah wanita pesolek dan pengkhayalm mereka itulah wanita-wanita munafik……(HR. Al-Baihaqi).

Tabarruj Adalah Ajaran Iblis

Sesungguhnya kisah Adam dengan Iblis memberikan gambaran kepada kita bagaimana musuh Allah iblis tersebut membuka peluang untuk melakukan perbuatan dosa dan mengoyak tirai pelindung dan bahwa tabarruj itu adalah tujuan asasinya. Allah ta’ala berfirman, “Hai anak Adam! Janganlah kamu sekali-kali dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Surga, ia telah menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (QS. Al-A’raf:27).

Jadi, iblislah yang mengajak kepada tabarruj dan buka-bukaan. Dialah pemimpin utama bagi para pencetus apa yang dikenal dengan Tahrirul Mar’ah (Pembebasan Wanita).

SYARAT HIJAB SESUAI SYARI’AT

Adapun syarat-syarat hijab syar’i (yang sesuai dengan syariat Islam) adalah:

Hendaklah hijab/jilbab tersebut menutup seluruh badan.
Hendaklah hijab/jilbab tersebut tebal, tidak tipis atau transparan. Karena maksud dari hijab adalah menutup, maka jika tidak menutup tidak dinamakan hijab karena hal tersebut tidak menghalangi penglihatan. Sehingga seperti yang dikatakan dalam hadits Nabi, “Berpakaian tetapi pada hakekatnya telanjang“. (Karena kelihatan auratnya, padahal fungsi pakaian di antaranya menutup aurat).
Hijab/jilbab tersebut bukan berupa perhiasan atau pakaian yang mencolok, memiliki warna-warni yang menarik sehingga menimbulkan perhatian.
Hendaklah hijab/jilbab tersebut tidak sempit, ketat, dan tidak menampakkan lekuk tubuh dan aurat. Maka jilbab harus luas dan lebar, sehingga tidak menimbulkan fitnah.
Hendaklah tidak memakai minyak wangi yang menyebabkan timbulnya fitnah, yaitu rangsangan bagi laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang wanita, jika mengenakan wewangian lalu lewat di hadapan suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia telah berzina.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, Ahdam, Al-Baihaqi).
Hendaklah hijab/jilbab tidak menyerupai pakaian laki-laki dan wanita kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i, dishohihkan oleh Syekh Al-Albaniy)
Saudari Muslimah!

Terakhir kami mengajakmu untuk memperhatikan pakaianmu serta wajib memiliki kepribadian Islam, ingatlah bahwa Ummul Mu’minin ‘Aisyah meminta agar bajunya dipanjangkan, sementara Anda? Mengapa meminta agar dipendekkan??

Saudari Muslimah! Jadikan Khadijah teladan dan panutanmu dalam berjuang harta dan jiwa. Jadikan ‘Aisyah teladanmu dalam ilmu pengetahuan. Jadikan keluarga Yasir teladanmu dalam kesabaran dan teguh pada agama Allah.

Wahai ibu generasi pendatang, dengarkanlah! Ibu adalah madarasah, jika Anda persiapkan berarti Anda mempersiapkan generasi yang harum namanya. Ibu adalah taman, jika ia selalu disiram ia akan berdaun rindang. Ibu adalah guru besar yang utama, jasa mereka bergaung ke seluruh penjuru.

Saudari Muslimah! Andai mereka melihat bentuk tubuhmu tidak menarik lagi, atau ketika usiamu telah senja, tua renta, apakah mereka masih memajang fotomu di sampul-sampul majalah? Buku? Poster dan semisalnya walaupun kamu orang terpelajar? Masihkah mereka memintamu bekerja sebagai pramugari di pesawat dengan alasan penghargaan bagi wanita? Masihkah kamu temui orang yang memperjuangkan sempitnya ruang lingkup belajarmu?

Ketahuilah! Sesungguhnya mereka hanya ingin menikmati kecantikan wajah dan kemolekan tubuh serta merdunya suaramu. Bila hal itu telah hilang darimu, maka mereka pun meninggalkanmu.



Dikutip dari Buletin Da’wah As-Sunnah edisi 13 syawal 1430 H terbitan Yayasan Ar-Risalah Al-Kahiriyah Jln. Glugur Rimbun, Kuta Junung, Tanjung Anom, Pancur Batu, Deli Serdang, Sumatera Utara 20353.

Nama Nama Pengurus MTA Tembalang

Daftar Pengurus MTA Tembalang Binaan MTA Cabang Semarang


Ketua : Agung Susilo
Sekretaris : Edi
Bendahara : Sukamto
Bendahara Pembangunan: Surono


Pengajian rutin dilaksanakan setiap hari Selasa Malam pukul 20.00 WIB di rumah Bpk. Hutamadi